Nikah Mimpi Kali
Oleh: Abu Asyam As Salaf, FAM 1505M
Pagi
yang cerah mentari bersinar begitu terang menghangatkan permukaan bumi yang
kedinginan setelah diselimuti gelap selama hampir 12 jam. Jendela kamar yang
menghadap ke timur mulai disusupi cahaya terang sang mentari pagi. Sepasang
mata masih tertutup oleh kelopaknya saat mentari menyingsing. Seeonggok tubuh
masih berselimut kain tebal, berbantal nyaman yang menariknya ke dalam alam
tidur yang indah.
Semalam
Ahmad tidak bisa mengatupkan kedua kelopak matanya, baru setelah shalat subuh
selesai ia tegakkan Ahmad baru memejamkan kedua bola matanya. Mungkin ini
karena Ahmad masih gugup, karena siang ini dia harus menjalankan akad nikahnya
dengan seorang gadis pujaannya yang bernama Novita Putri. Seorang gadis yang
begitu lembut dibalut dengan kecantikan yang masyaallah, bisa membuat
bulu kuduk Ahmad berdiri kaku dan tubuhnya bergetar kuat.
Novi adalah
mahasiswi semester 5 di Universitas Gajah Mada. Mahasiswi prodi sastra
indonesia yang cantik ini pertama kali bertemu
dengan Ahmad enam bulan lalu saat ada seminar yang membahas tentang membentuk
generasi Rabbani sejati di Aula Universitas Islam Indonesia, dan kebetulan
Ahmad adalah salah satu panitianya.
Pertemuan
bermula ketika gadis kelahiran sunda ini tak sengaja terpeleset di halaman
depan tempat diadakannya seminar. Malu bukan main dirasakan Novi. Tanah yang
tidak berlumut bisa membuatnya terpeleset seperti itu.
Dan kebetulan Novi adalah peserta pertama, dan Ahmad juga
sedang mengurusi daftar hadir di depan tempat seminar. Melihat kondisi seperti
itu, sebagai pria dan juga tentunya sebagai pantia dia harus tanggap dengan
kejadian seperti itu, meski temannya sudah membantunya. Ahmad berlari
menghampiri, hampir saja ia ikut mengangkat Novi, tapi syukur alhamdulillah, ia masih ingat
kalau mereka bukan mahram.
“Ndak
apa-apa kan mbak? Masih bisa jalan kan?” Tanyanya dengan nafas terengah-engah,
maklum Ahmad ini jarang berolahraga. Di tambah ketika melihat wajahnya,
badannya langsung terasa gemetar.
“Iya mas, ndak
apa-apa. Cuma sakit sedikit, wajar namanya jatuh mas.” Jawabnya dengan senyuman
sambil dipapah temannya.
“Duduk sini
dulu mbak, saya ambilkan betadin dulu ya buat tangannya” Tawarnya seraya
menarik bangku lipat merah yang baru saja ditatanya setelah meletakkan kertas
absensi di meja pendaftaran.
“Iya, tolong ya
mas.” Ujar teman Novi yang memapah Novi duduk.
Ahmad
berlari kecil menuju ke dalam ruangan, menemui temannya April yang bertugas
mempersiapkan P3K untuk acara ini.
“Pril” Panggil
Ahmad dari belakang saat April menata meja untuk pembicara seminar. “Minta
betadin sama kapas” Ujarnya dengan cepat tanpa titik koma, yang membuat
suaranya tidak jelas didengar.
“Eh apa mas?
Kurang jelas.” Tukas April balik bertanya ke Ahmad.
“Be-ta-din sa-ma
ka-pas.” Ulangnya dengan mengeja serta dibubuhi nada yang sedikit menekan
ditiap notasinya.
“Oh P3K, ambil
di tas ya. Noh yang merah dekat AC”
Ahmad pun
berjalan menghampiri tas merah milik April. Tangannya merogoh tas punggung
mencari kotak P3K kecil yang disiapkan April untuk acara seminar kali ini.
“Udah ketemu mas?”
Tanya April seraya mendekati Ahmad.
“Sudah. Yang
ini kan?” Sahutnya sambil menunjukkan kotak P3K kecil yang baru saja
diambilnya.
“Iya, yang itu.
Buat siapa mas?” Tanya April lagi.
“Itu, tadi ada
yang jatuh di halaman depan.” Jelas
Ahmad kepada April.
“Oh, saya kira
buat kamu mas.” Balasnya polos.
“Sudah, aku
kasih ini dulu Pril” Ahmad meminta izin sambil berlari kecil menuju pintu
keluar.
“Ada kan mas?” Tanya teman Novi ketika melihat
batang hidung Ahmad mulai terlihat di
pintu masuk acara seminar.
“Ada. Ini mbak.”
Seraya menyodorkan kotak P3K. “kalau begitu, saya tinggal fotokopi dulu ya, terus
tolong absensi ini diisi ya mbak.” Disambut anggukan Novi yang memberi isyarat
kalau ia mengerti maksud Ahmad.
Ahmad pun
memulai langkahnya meninggalkan mereka berdua dengan lari kecil menuju honda
tiger hitam miliknya.
***
Suara
langkah terdengar menaiki tangga menuju kamar Ahmad di lantai dua. Terdengar
suara langkah itu semakin mendekat. Ahma pun semakin menutup dirinya dengan
selimut hijau tebal.
“Mas, ayo
bangun sudah jam delapan.” Ari memanggil
Ahad sambil mengetok pintu kamar.
“Ahh..” Lenguh
Ahmad.
“Eh, yang mau
nikah siapa ini? Apa batal aja?” Ari menghentikan sindirannya menunggu respon
dari Ahmad. “Eh diem aja, apa mau aku yang gantiin. Kalau aku mau-mau
saja jadi pengganti.” Sindirnya memanasi lubang telinga Ahmad.
“Ah iya aku
tau. Dasar cerewet! Baru juga ini mata merem udah diganggu sama omelanmu.” Keluh
Ahmad sambil membuka pintu kamarnya yang dikunci dari dalam.
“Terserahlah,
yang penting mandi sana. Entar kalau di cancel mewek lagi kaya pas minta nikah.”
Sindir Ari lagi dengan nada sinis dan datar sambil memalingkan badannya meninggalkan
Ahmad.
Terlihat
ekspresi Ahmad langsung berubah kecut mendengar sindiran Ari.
Waktu
terus berjalan, Ahmad selesai dengan urusan di kamar belakang. Di sisirnya
rambut Ahmad setelah memakai pakaian resmi dengan jas hitam serta dasi di
lehernya. Terlihat Ahmad sudah siap dengan acara pernikahannya yang perdana.
Matanya menatap
ke cermin, milihat sosoknya sendiri berbalut busana kantoran berjas lengkap
yang membuatnya terlihat gagah, menuruntnya. Meski begitu, dia masih tidak
percaya kalau hari ini akan tiba. Benar-benar
tak terasa waktu berjalan begitu cepat, seolah baru kemarin ia memasuki
jenjang perkuliahan, sekarang? Dia akan melangsungkan prosesi pernikahannya
dengan sang juwita hati.
Kedua
matanya saling berpandangan dalam penuh makna dengan refleksi matanya di cermin
yang dipasang di dinding kamarnya. Ia mulai menyusuri kenangan yang
bersangkutan dengan kejadian hari ini.
Wajahnya yang
tadi terlihat gugup perlahan mulai terlihat tenang. Nafasnya pun mulai teratur,
diikuti detak jantungnya yang apabila dicek dengan ECG (Electrocardiography)
pasti seorang dokter akan tersenyum lega karena, melihat detak jantung
pasiennya mulai kembali normal.
Perasaan
hatinya yang bercampur-aduk begitu mendera relung hatinya, hingga lamunannya
terbang jauh selama waktu longgar tugasnya sebagai salah satu panitia seminar,
ketika seminar sudah berjalan hampir setengah jalan.
Di
dekatinya meja pendaftaran untuk akhwat.
Perlahan
dia duduk di samping Dea, yang bertugas menjaga kertas absensi untuk peserta akhwat.
Tentunya itu ia lakukan setelah merasa sepi dari para pendaftar acara seminar.
Mulai ditariknya kertas absensi secara perlahan namun pasti agar Dea yang
sedang mengalihkan pandangannya tidak menyadarinya. ECG mendeteksi degup
jantungnya begitu keras bergenderang di dadanya selama ia menarik kertas
absensi.
Dea
yang sedari tadi membuang muka mulai mulai menyadari keberadaan Ahmad yang
menraik kertas absensi perlahan-lahan. Ahmad terlihat begitu fokus hingga tak
menyadari kalau Dea melihat tingkahnya konyolnya. Disodoknya tangan Ahmad dengan
ballpoint yang sedari tadi diputar-putar di tangan Dea selama membuang
muka, yang sontak membuat Ahmad terkejut setengah hidup, dan menambah cepat
tempo tabuhan taiko di dada Ahmad.
“Nah
lho ketauan.” Tuding Dea.
“A...apa
ya?” Ahmad terbata-bata saat Dea mencurigainya.
“Nyari
nama siapa mas Ah-maad.” Goda Dea mengarahkan kepalanya mendekat ke meja dengan
pandangan mana tertuju pada Ahmad dari arah bawah.
“Ndak-ndak.
Itu cuma halusinasimu aja kali.” Masih dengan wajah acuhnya yang dibuang ke
arah kiri.
“Oo~h!
Bukan si-apa-si-apa ya!” Dengan nada mengejek sambil berkacak pinggang
ekspresinya begitu sombong membuat Ahmad semakin salah tingkah.
“Mmm.
Mmm.” Ahmad mengangguk dengan yakin.
“Ya,
kalo gitu kesiniin dong abse...” Ucap Dea yang terpotong ketika
tangannya yang bergerak mengambil absensi disampar oleh Ahmad yang langsung
menarik absensi dan menyembunyikannya di balik punggungnya.
“Ah,
nggak tau teman senang apa?” Sewot Ahmad.
“Iya
mas, iya! Aku tau kok, makanya aku goda hehe” Senyum puas tergambar
jelas di wajah Dea. “Eh, terus mau nyari nomor handphone siapa mas?” Lanjutnya.
“Ssstt”
Desis Ahmad sambil memberi isyarat jari telunjuk di bibirnya. “Rahasia dong.”
Ahmad tersenyum tipis.
“Ladalah,
kok malah ngalamun le?” Suara dari belakang menghamburkan
nostalgia tentangnya dan Novi. “Ayo turun kalau sudah siap. Sudah ditunggu itu.”
Lanjut sang kakek dengan suara yang agak serak.
“Iya
Kek. Ahmad turun.” Jawab Ahmad sambil menarik nafas dalam.
Jam
sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima. Satujam lagi insyaallah acara
akad nikah akan segera berlangsung di rumah Novi di bilangan Depok.
Kalau
naik mobil kira-kira setengah jam sudah sampai di kediaman Novi yang berjarak
tidak begitu jauh dari rumah tantenya.
Terlihat
tiga mobil berjajar lurus menanti penumpang mengisi kursi-kursi kosong nan
empuk yang disediakan.
Dari
belakang, pundak kanan Ahmad didorong sang Ayah yang berdiri di sebelah kiri.
“Gugup
nak?” Tanya Ayahnya dengan senyuman, berharap bisa membuat Ahmad lebih terlihat
santai.
“Hmm.”
Jawabnya dengan satu anggukkan pelan.
“Heh,
ya sudah. Masuk mobil sana. Gugupnya lanjut di mobil saja.”
Dengan
perlahan Ahmad melangkahkan kakiknya memasuki mobil sedan mewah milik
keluarganya. Ahmad duduk di kursi penumpang depan. Tangannya masih dikatupkan.
Bibirnya masih berdziki mengingat Allah dalam setiap gerak bibirnya. Hatinya
mengingat segala nikmat yang diberikan Allah hingga saat ini.
Kini
kedua matanya terpejam, mencoba menenagkan hatinya sambil menyusuri masa
lalunya.
“Mas.”
“Ya?”
Ahmad langsung membalikkan tubuhnya ketika mendengar panggilan dari belakang
punggungnya yang seolah suara itu sudah tidak asing lagi. “Oh, mbaknya yang
tadi. Ada apa mbak?”
“Ini
mas, mau ngembalikan kotak P3K.”
“Ow.”
Sambil menerima kotak P3K yang disodorkan Novi.
“Makasih
mas.” Seraya memalingkan badannya.
“Eh
iya, sama-sama Nov.” dengan ragu Ahmad
akhirnya menyebut nama yang dikiranya nama gadis cantik yang berbalut jilbab
berwarna Merah tua.
“Eh,
kok tau nama saya mas?” tanya Novi seketika itu juga dengan rasa heran.
“Anu...aa...
Itu tadi- aku baca sekilas –apa itu namanya- ah absensi” Jawabnya dengan gugup,
tapi beruntung dia mulai bisa segera mengendalikan dirinya untuk melanjutkan
alasannya. “Waktu disodorkan ke aku tadi. Aku lihat yang akhwat yang atas itu
namanya Novi siapa gitu, aku pikir mungkin itu namamu.” Lanjutnya dengan tenang
dan tawa.
“Jadi,
tadi itu cuma iseng ya?” Ahmad tersapu malu mendengar ucapan Novi. “Untung
bener ya mas?” Diikuti anggukan Ahmad pelan. “Eh, iya nama aku lengkapanya
Novita Putri, salam kenal. Mas sendiri namanya siapa?”
“Aku?”
Dengan menunjuk ke arah dirinya sendiri. “Ee, Ahmad Nov. Ahmad Nur Kholis dari
Agrobisnis, UNS solo.”
“Oh
dari UNS ya?” Novi terlihat sedikit heran tapi kagum. “Kalau aku dari UGM,
sastra indonesia, semester 5 ini.”
“Udah
semester 5 ya, selisih satu tahun berarti, aku semester tujuh ini”
“Nov!
Ayo!” Panggil temannya yang sudah tidak sabar karena melihat Novi enak sekali bercerita
dengan Ahmad sampai lupa kalau akan pulang.
“Iya
Nes, bentar.” Sahut Novi. “Aku pamit dulu mas, Assalamu’alaykum”
“Wa’alaykumussalam.”
Jawab Ahmad tanpa mengedipkan matanya dari sosok bidadari yang perlahan
menjauh.
Wajahnya
kini merona kemerahan, senyum tersungging di bibirnya.
“Sudah
tenang nak?” Tanya ayahnya yang sedang menyetir ketika melihat anaknya
tersenyum bahagia.
“Lumayan
Yah.” Masih tertunduk dengan senyum khasnya.
“Sebentar
lagi sampai. Sudah, tenang saja ya.”
“iya
tenang aja, nanti lupa lagi gimana akadnya.” timpal Ari adik laki-lakinya.
“haish
kau ini.” Sambil melontarkan tangannya ke belakang tapi berhasil dihindari Ari
karena Ahmad tertahan tali sabuk pengaman yang mengganggu jarak jangkau tangan
kirinya.
“Eit,
nggak kenak hahaha.” Tawa lepas sang adik.
“Sudah
Ri, kamu itu dari tadi ganggu masmu. Jangan-jangan kamu juga mau nikah?”
“Aku?
Oh jelas Yah. Tapi nanti. Masih SMA juga, masak mau nikah. Calon aja belum ada
Yah.” Jawab Ari dengan entengnya.
“haha
iya ya, masih SMA.”
Canda
tawa kini menghiasi mobil sedan itu hingga tiba di kediaman Novi. Mobil pun
diparkirkan. Usai itu, rombongan mempelai pria memasuki area kediaman rumah
Novi. Mereka disambut dengan hangat, sehangat dekapan ibu pada bayi mungilnya.
Perasaan ini
pernah ia rasakan, tapi kebahagian ini baru pertama kali ia rasakan semenjak
bertemu Novi.
***
Seminggu yang
lalu, Ahmad menerima kabar tentang reuni sekolahnya. Senyum bahagia menampakkan
lesung pipinya. Sudah lama mereka tidak berjumpa, batin Ahmad waktu
menerima sms.
Sekolah di mana
Ahmad pernah menempuh jenjang pendidikan di sana selama tiga tahun. Sekolah
yang menuangkan masa-masa remajanya. Jenjang pendidikan yang pernah mengukirkan
tingkah-tingkah konyol anak tujuh belas tahun.
Pagi itu, Ahmad
sudah bersiap seolah akan menemui seorang raja. Dia berdandan rapi, dengan semerbak harum parfum dari bajunya. Sudah
lama ia tak berjumpa teman seperjuangannya semenjak lulus dari sekolah.
Di UNS, teman
seperjuangannya tidak ada, yang ada hanya teman satu tanah kelahiran. Jadilah
Ahmad merantau sendiri ke Solo. Hanya waktu liburan Ahamd bisa pulang ke
Semarang. Pulang? Mungkin lebih tepatnya mampir tidur semalam.
Ahmad termasuk
mahasiswa aktif, bukan hanya organisasi dalam kampus, tapi juga di luar kampus,
ditambah Ahmad mencoba untuk mandiri, yang membuatnya bekerja paruh waktu,
meski kedua orang tuanya tergolong kaya raya. Meski begitu Ahma lebih senang
menonjolkan sisi sederhana pada dirinya. Merasakan penderitaan mahasiswa pada
tanggal tua atau yang terlambat pengiriman uangnya.
Minggu pagi.
Sekitar pukul tujuh Ahmad sudah bangun, mandi sarapan berdandan hingga pukul
delapan. Selepas itu, Ahmad menaiki Honda Tiger miliknya menuju ke sekolahnya.
Ahmad orang yang pertama sampai, setelah panitia tentunya. Di sana Ahmad
berbincang–bincang melepas kerinduan. Hampir dari seluruh jumlah siswa kelas
tiga, yang memutuskan untuk bersekolah di tanah kelahirannya mungkin hanya 33%,
selainnya merantau di universitas lain di ranah Jawa seperti, UI, ITB, ITS,
UNEJ, UGM, UNY, UNESA, bahkan ada yang ikut orang tuanya ke Lampung dan Manado.
Tak terasa
perbincangan mereka mengenang kekonyolan mereka semasa SMA yang terlihat begitu
cuek akan pelajaran dan kenangan kala menjadi panitia remidi, karena saking
seringnya remidi dihampir setiap ulangan harian karena nilanya yang selalu di
bawah KKM, tapi itu dulu, semasa kelas satu. Serta mengingat kembali para
guru-guru mereka dengan segala tingkah para guru yang mengundang gelak tawa mereka.
Entah kebetulan
atau apa, Ahmad melihat Santi, teman sekelasnya, yang semasa kelas tiga
membantunya untuk belajar, menjadi tempat bertanya atau disebutnya sebagai
kamus berjalan. Santi memang tergolong siswi yang pandai, meski tidak pernah
menduduki ranking pertama, tapi Santi lebih bisa diandalkan dari pada sang
juara.
“Oi San. Apa
kabar?” Panggil Ahmad dari kejauhan sembari mendekatinya.
“Ahmad ya?” Tunjuk
Santi ke arah Ahmad, seolah ada yang berbeda dari dirinya. “Kamu kurusan
sekarang, brewokan lagi, jadi pangling aku. Aku sehat Mad.”
“Hehe iya San,
maklum anak kuliah yang sibuk”. Jawabnya santai.
“Ya ya ya, aku
ngerti kok. Lanjut di mana?”
“UNS San, ambil
Agrobisnis. Kamu katanya mau ke UGM ya? Gimana hasilnya?
“oh iya ya,
maaf belum sempet kabar-kabar, maklum handphoneku hilang. Sekarang aku
masuk prodi sastra indonesi Mad. Jadi sekarang aku satu tahun di bawahmu.
Soalnya kan aku nunda setahun buat kerja dulu.”
“Sastra
indonesia?” Ahmad sedikit terkejut, bukan pertama kali dia mendengar itu, ada
seorang gadis nan cantik jelita pernah mengatakan hal itu. Mungkinkah ini
jodohku yang telah Engkau tuliskan Ya Allah. Apakah lewat sobatku ini aku bisa
mendekatinya? Batin Ahmad penuh rasa harap.
“Kenapa Mad?
Ada yang aneh sama jawabanku?” Tanyanya karena melihat gelagat aneh dari Ahmad.
“Mmm, nggak. Aku
Cuma mau tanya, kamu kenal Novi?”
“Novi, Novi~?”
“iya,
lengkapnya Novita Putri.”
“oh, anaknya
pak Rt? Kalau benar itu, berarti aku kenal, itu orangnya baru ke Indoapril.”
terangnya singkat penuh penghayatan berhasil membuat Ahmad hampir kehilangan kesadaran
saking kagetnya. Tak disangka akan bertemu sang pujaan hati lagi.
“Bercanda ah.” Jawab Ahmad mencoba untuk tidak percaya
begitu saja.
“Bercanda? Oke
tunggu aja kalau dia sudah balik dari Indoapril.” Tantang Santi.
Tak berselang
lama setelah itu, Ahmad dan Santi yang masih asik mengenang masa SMAnya,
tentunya terlelepas dari membahas Novi. Tiba-tiba sesosok wanita berbusana
muslimah biru tua menghampiri mereka.
“Lho? Mas Ahmad.
Temennya mbak Santi ya?” Disambut anggukan dari Ahmad tanpa memalingkan
pandangannya. Ahmad benar-benar sudah terhipnotis dengan kecantikan sang juwita
yang bernama Novi.
“Apa ku bilang.
Novi ikutkan.” Jawabnya dengan besar kepala.
“Kok
bisa?” Ahmad benar-benar heran. Orang Sunda, kuliah di UGM, ikut reuni di
Semarang padahal bukan sekolahnya.
“Gini Mad,
seminggu kemarin aku ngajak Novi main ke rumah, eh pas sampek di sini hari
senin kemarin malah dapet sms, katanya ada reuni. Ya sudah, sekalian nanti mau
balik ke Jogja, Novi aku ajak aja. Begitu kira-kira singkat ceritanya.”
“Ow~” Tak
sempat melanjutkan pembicaraan Ahmad sudah diseret Anton menuju ruangan. “Eh eh
Ton”
“Ayo,
siap-siap” Sambil menarik-narik Ahmad
“aku masuk dulu
ya.” Pamit Ahmad yang di tarik Anton dengan suara agak ditinggikan.
***
“Nak Ahmad, sudah siap?” Tanya penghulu.
“Iya pak. Siap”
Jawabnya dengan penuh keyakinan, mengalahkan gejolak dalam dada yang membuatnya
hampir tak sanggup untuk bicara.
“Berarti bisa
dimulai kan?” Tanya penghulu lagi yang dijawab dengan anggukan kepala penuh
keyakian.
Akad nikah pun
berlangsung, sekarang Ahmad dan Novi sudah resmi sebagai suami-istri. Mereka
kini menempuh babak baru dari kehidupan. Acara resepsi berlangsung saat itu
juga. Tak banyak teman Ahmad yang bisa datang. Karena sekarang bukan masa
liburan.
Bulan madu
mereka, rencananya akan naik ke puncak. Satu Vila sudah mereka sewa khusus tiga
hari sebelum hari pernikahan. Rencana kepuncak ini sebenarnya sudah ada pasca
Ahmad mengkhitbah Novi, itupun karena saudara Novi yang menyuguhkan minuman
bertanya ke Ahmad, bulan madu mau ke mana. Sebelumnya Ahmad tidak berpikir
sejauh itu, buat apa? Toh menghamburkan uang. Tapi kebetulan lagi, tantenya
tiga hari sebelum hari pernikahan tanpa disangka sudah memesankan satu vila
untuk mereka bulan madu, karena sudah dipesan, dibayar lunas lagi, Ahmad jadi
enggan untuk menolaknya. Jadilah dia akan berbulan madu di puncak.
Sehari setelah acara
pernikahan mereka, Ahmad dan sang istri bersiap-siap menuju puncak. Mereka
rencananya berangkat pukul sepuluh, biar paling tidak ‘ashar sudah sampai di
sana.
Usai berkemas,
mereka langsung menuju puncak, kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Rasa cinta
semakin tereasa mendalam di hati tiap insan manusia ini.
Sepoi angin
pegunungan ketika jendela mobil dibuka, membuat tenang hati, orang beribadah
pun niscaya khusyuk dalam kondisi sesejuk ini.
Sepoi angin ini
seolah memberi kesejukan pada cinta kedua mempelai baru ini. Cinta mereka
bagaikan cahaya yang menyinari hutan yang gelap yang belum pernah dijamah
manusia sediktpun.
Dan cinta
mereka yang bila didasari keikhlasan, yang semata-mata karena Rabb mereka,
niscaya cinta itu yang akan membawa mereka kepada Rabb mereka, karena cinta
mereka seolah menjadi kendaraan yang mengantarkan mereka menuju Rabb mereka.
Wajah kedua
pasangan ini begitu cerah, benar-benar penuh arti senyuman meraka di jalan berkelok
pegunungan. Karena cinta mereka adalah kehidupan, sehingga mereka tidak seperti
orang yang mati. Orang Mati yang tidak bisa merasakan apapun bahkan orang mati
tidak bisa tersenyum bahagia seperti itu. Semua kebahagiaan tergambar pada
kemesraan mereka selama perjalanan yang berbalut senyuman indah.
Tapi siapa yang
menyangka, senyuman mereka berubah menjadi mimik wajah ketakutan. Karena turunan
yang curam menghadang mereka, rem pun entah kenapa tak mau berfungsi dengan
normal. Mobil mereka menuruni bukit dengan kencangnya. Hingga terdengar suara
benda yang saling berbenturan. Teriakan terdengar begitu jelas. Ia terus saja
berteriak ketakutan pasca suara benturan tadi. Berteriak seperti sedang menaiki
RollerCoster.
“Oi mas,
kenapa? Bangun mas, udahan mimpinya.” ujar Ari sambil melempar bantal ke kepala
Ahmad yang jatuh dari tempat tidurnya.
Ahmad terlhat
ngos-ngosan, seolah itu semua nyata, seperti hal nya Final Destination yang
pernah di tontonnya di TV. Ahmad beristighfar sambil memegang dadanya yang
masih naik turun dengan cepat.
“Ri, Novi Ri?” Tanya
Ahmad dengan nada yang masih belum teratur.
“Ah, Novi
siapa?”
“Novi istriku!”
Tegas Ahmad.
“Mas! Sudahan
mimpinya, mas itu belum nikah, lamaran saja belum.” Ujar Ari setelah melempar
bantal untuk kedua kalinya ke Ahmad dilanjutkan tidur memluk erat gulingnya. “Mas
ini terlalu sering baca buku nikah, jadinya kebawa mimpi kaya gitu” Lanjutnya seperti
orang yang melantur.
“Oh, tapi ini
di Depok kan?”
“Wah parah lho.
Baru juga kita sampai sini semalem. Lho dah lupa.” Jawab Ari yang masih
tertidur sambil memeluk erat gulingnya
dengan nada agak tinggi.
Ahmad pun
bergegas keluar dari kamrnya. Ia mandi secepat mungkin, lalu mengambil kunci
mobil dan keluar entah mau ke mana.
Mobil sedan
yang dikendarai Ahmad berhenti di suatu kampung. Ahmad turun dari mobilnya,
matanya menyapu rata rumah-rumah di sekitarnya, seperti sedang mencari sesuatu
atau memang Ahmad sedang mencari sesuatu.
“Maaf bang,
nyari siapa?” Tanya seorang gadis bersuara lembut mengagetkan dirinya.
“No...No...Novi!”
Suara Ahmad terlihat terbata-bata ketika melihat sosok Novi yang ada dalam
mimpinya semalam berdiri di dekatnya.
“Saya?” Gadis
itu terlihat heran.
“Masyaallah,
ternyata mimpiku benar.” Pekik Ahmad pelan memuji Allah dengan segala ketetapannya
untuk setiap makhluk ciptaan-Nya.
“Mimpi apa?”
Tanyanya dengan penuh rasa heran.
“semalam saya
mimpi bertemu kamu, lalu kita menikah.” Jelas Ahmad dengan mata berbinar-binar
penuh kebahagiaan.
“Aduh! Abang
salah orang kali. Lagi pula, hal kaya begitu kan cuma ada di cerita-cerita
fiksi.” Sanggahnya menahan tawa. “Abang ini ada-ada saja. Sudah, saya masuk
dulu.” Dengan senyum lembut sambil beranjak pergi masuk rumah, meninggakan
Ahmad yang melongoh di luar rumahnya sendirian.
« END »