Selasa, 09 April 2013

Cerpen islami


Nikah Mimpi Kali
Oleh: Abu Asyam As Salaf, FAM 1505M

            Pagi yang cerah mentari bersinar begitu terang menghangatkan permukaan bumi yang kedinginan setelah diselimuti gelap selama hampir 12 jam. Jendela kamar yang menghadap ke timur mulai disusupi cahaya terang sang mentari pagi. Sepasang mata masih tertutup oleh kelopaknya saat mentari menyingsing. Seeonggok tubuh masih berselimut kain tebal, berbantal nyaman yang menariknya ke dalam alam tidur yang indah.
            Semalam Ahmad tidak bisa mengatupkan kedua kelopak matanya, baru setelah shalat subuh selesai ia tegakkan Ahmad baru memejamkan kedua bola matanya. Mungkin ini karena Ahmad masih gugup, karena siang ini dia harus menjalankan akad nikahnya dengan seorang gadis pujaannya yang bernama Novita Putri. Seorang gadis yang begitu lembut dibalut dengan kecantikan yang masyaallah, bisa membuat bulu kuduk Ahmad berdiri kaku dan tubuhnya bergetar kuat.
Novi adalah mahasiswi semester 5 di Universitas Gajah Mada. Mahasiswi prodi sastra indonesia yang cantik ini pertama kali bertemu dengan Ahmad enam bulan lalu saat ada seminar yang membahas tentang membentuk generasi Rabbani sejati di Aula Universitas Islam Indonesia, dan kebetulan Ahmad adalah salah satu panitianya.
Pertemuan bermula ketika gadis kelahiran sunda ini tak sengaja terpeleset di halaman depan tempat diadakannya seminar. Malu bukan main dirasakan Novi. Tanah yang tidak berlumut bisa membuatnya terpeleset seperti itu.
Dan kebetulan  Novi adalah peserta pertama, dan Ahmad juga sedang mengurusi daftar hadir di depan tempat seminar. Melihat kondisi seperti itu, sebagai pria dan juga tentunya sebagai pantia dia harus tanggap dengan kejadian seperti itu, meski temannya sudah membantunya. Ahmad berlari menghampiri, hampir saja ia ikut mengangkat Novi, tapi  syukur alhamdulillah, ia masih ingat kalau mereka bukan mahram.
Ndak apa-apa kan mbak? Masih bisa jalan kan?” Tanyanya dengan nafas terengah-engah, maklum Ahmad ini jarang berolahraga. Di tambah ketika melihat wajahnya, badannya langsung terasa gemetar.
“Iya mas, ndak apa-apa. Cuma sakit sedikit, wajar namanya jatuh mas.” Jawabnya dengan senyuman sambil dipapah temannya.
“Duduk sini dulu mbak, saya ambilkan betadin dulu ya buat tangannya” Tawarnya seraya menarik bangku lipat merah yang baru saja ditatanya setelah meletakkan kertas absensi di meja pendaftaran.
“Iya, tolong ya mas.” Ujar teman Novi yang memapah Novi duduk.
            Ahmad berlari kecil menuju ke dalam ruangan, menemui temannya April yang bertugas mempersiapkan P3K untuk acara ini.
“Pril” Panggil Ahmad dari belakang saat April menata meja untuk pembicara seminar. “Minta betadin sama kapas” Ujarnya dengan cepat tanpa titik koma, yang membuat suaranya tidak jelas didengar.
“Eh apa mas? Kurang jelas.” Tukas April balik bertanya ke Ahmad.
“Be-ta-din sa-ma ka-pas.” Ulangnya dengan mengeja serta dibubuhi nada yang sedikit menekan ditiap notasinya.
“Oh P3K, ambil di tas ya. Noh yang merah dekat AC”
Ahmad pun berjalan menghampiri tas merah milik April. Tangannya merogoh tas punggung mencari kotak P3K kecil yang disiapkan April untuk acara seminar kali ini.
“Udah ketemu mas?” Tanya April seraya mendekati Ahmad.
“Sudah. Yang ini kan?” Sahutnya sambil menunjukkan kotak P3K kecil yang baru saja diambilnya.
“Iya, yang itu. Buat siapa mas?” Tanya April lagi.
“Itu, tadi ada yang jatuh  di halaman depan.” Jelas Ahmad kepada April.
“Oh, saya kira buat kamu mas.” Balasnya polos.
“Sudah, aku kasih ini dulu Pril” Ahmad meminta izin sambil berlari kecil menuju pintu keluar.
 “Ada kan mas?” Tanya teman Novi ketika melihat batang hidung Ahmad mulai terlihat  di pintu masuk acara seminar.
“Ada. Ini mbak.” Seraya menyodorkan kotak P3K. “kalau begitu, saya tinggal fotokopi dulu ya, terus tolong absensi ini diisi ya mbak.” Disambut anggukan Novi yang memberi isyarat kalau ia mengerti maksud Ahmad.
Ahmad pun memulai langkahnya meninggalkan mereka berdua dengan lari kecil menuju honda tiger  hitam miliknya.
***
            Suara langkah terdengar menaiki tangga menuju kamar Ahmad di lantai dua. Terdengar suara langkah itu semakin mendekat. Ahma pun semakin menutup dirinya dengan selimut hijau tebal.
“Mas, ayo bangun sudah jam delapan.” Ari  memanggil Ahad sambil mengetok pintu kamar.
“Ahh..” Lenguh Ahmad.
“Eh, yang mau nikah siapa ini? Apa batal aja?” Ari menghentikan sindirannya menunggu respon dari Ahmad. “Eh diem aja, apa mau aku yang gantiin. Kalau aku mau-mau saja jadi pengganti.” Sindirnya memanasi lubang telinga Ahmad.
“Ah iya aku tau. Dasar cerewet! Baru juga ini mata merem udah diganggu sama omelanmu.” Keluh Ahmad sambil membuka pintu kamarnya yang dikunci dari dalam.
“Terserahlah, yang penting mandi sana. Entar kalau di cancel mewek lagi kaya pas minta nikah.” Sindir Ari lagi dengan nada sinis dan datar sambil memalingkan badannya meninggalkan  Ahmad.
Terlihat ekspresi Ahmad langsung berubah kecut mendengar sindiran Ari.
            Waktu terus berjalan, Ahmad selesai dengan urusan di kamar belakang. Di sisirnya rambut Ahmad setelah memakai pakaian resmi dengan jas hitam serta dasi di lehernya. Terlihat Ahmad sudah siap dengan acara pernikahannya yang perdana.
Matanya menatap ke cermin, milihat sosoknya sendiri berbalut busana kantoran berjas lengkap yang membuatnya terlihat gagah, menuruntnya. Meski begitu, dia masih tidak percaya kalau hari ini akan tiba. Benar-benar  tak terasa waktu berjalan begitu cepat, seolah baru kemarin ia memasuki jenjang perkuliahan, sekarang? Dia akan melangsungkan prosesi pernikahannya dengan sang juwita hati.
            Kedua matanya saling berpandangan dalam penuh makna dengan refleksi matanya di cermin yang dipasang di dinding kamarnya. Ia mulai menyusuri kenangan yang bersangkutan dengan kejadian hari ini.
Wajahnya yang tadi terlihat gugup perlahan mulai terlihat tenang. Nafasnya pun mulai teratur, diikuti detak jantungnya yang apabila dicek dengan ECG (Electrocardiography) pasti seorang dokter akan tersenyum lega karena, melihat detak jantung pasiennya mulai kembali normal.
            Perasaan hatinya yang bercampur-aduk begitu mendera relung hatinya, hingga lamunannya terbang jauh selama waktu longgar tugasnya sebagai salah satu panitia seminar, ketika seminar sudah berjalan hampir setengah jalan.
            Di dekatinya meja pendaftaran untuk akhwat.
            Perlahan dia duduk di samping Dea, yang bertugas menjaga kertas absensi untuk peserta akhwat. Tentunya itu ia lakukan setelah merasa sepi dari para pendaftar acara seminar. Mulai ditariknya kertas absensi secara perlahan namun pasti agar Dea yang sedang mengalihkan pandangannya tidak menyadarinya. ECG mendeteksi degup jantungnya begitu keras bergenderang di dadanya selama ia menarik kertas absensi.
            Dea yang sedari tadi membuang muka mulai mulai menyadari keberadaan Ahmad yang menraik kertas absensi perlahan-lahan. Ahmad terlihat begitu fokus hingga tak menyadari kalau Dea melihat tingkahnya konyolnya. Disodoknya tangan Ahmad dengan ballpoint yang sedari tadi diputar-putar di tangan Dea selama membuang muka, yang sontak membuat Ahmad terkejut setengah hidup, dan menambah cepat tempo tabuhan taiko di dada Ahmad.
            “Nah lho ketauan.” Tuding Dea.
            “A...apa ya?” Ahmad terbata-bata saat Dea mencurigainya.
            “Nyari nama siapa mas Ah-maad.” Goda Dea mengarahkan kepalanya mendekat ke meja dengan pandangan mana tertuju pada Ahmad dari arah bawah.
            “Ndak-ndak. Itu cuma halusinasimu aja kali.” Masih dengan wajah acuhnya yang dibuang ke arah kiri.
            “Oo~h! Bukan si-apa-si-apa ya!” Dengan nada mengejek sambil berkacak pinggang ekspresinya begitu sombong membuat Ahmad semakin salah tingkah.
            “Mmm. Mmm.” Ahmad mengangguk dengan yakin.
            “Ya, kalo gitu kesiniin dong abse...” Ucap Dea yang terpotong ketika tangannya yang bergerak mengambil absensi disampar oleh Ahmad yang langsung menarik absensi dan menyembunyikannya di balik punggungnya.
            “Ah, nggak tau teman senang apa?”  Sewot Ahmad.
            “Iya mas, iya! Aku tau kok, makanya aku goda hehe” Senyum puas tergambar jelas di wajah Dea. “Eh, terus mau nyari nomor handphone siapa mas?” Lanjutnya.
            “Ssstt” Desis Ahmad sambil memberi isyarat jari telunjuk di bibirnya. “Rahasia dong.” Ahmad tersenyum tipis.
            “Ladalah, kok malah ngalamun le?” Suara dari belakang menghamburkan nostalgia tentangnya dan Novi. “Ayo turun kalau sudah siap. Sudah ditunggu itu.” Lanjut sang kakek dengan suara yang agak serak.
            “Iya Kek. Ahmad turun.” Jawab Ahmad sambil menarik nafas dalam.
            Jam sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima. Satujam lagi insyaallah acara akad nikah akan segera berlangsung di rumah Novi di bilangan Depok.
            Kalau naik mobil kira-kira setengah jam sudah sampai di kediaman Novi yang berjarak tidak begitu jauh dari rumah tantenya.
            Terlihat tiga mobil berjajar lurus menanti penumpang mengisi kursi-kursi kosong nan empuk yang disediakan.
            Dari belakang, pundak kanan Ahmad didorong sang Ayah yang berdiri di sebelah kiri.
            “Gugup nak?” Tanya Ayahnya dengan senyuman, berharap bisa membuat Ahmad lebih terlihat santai.
            “Hmm.” Jawabnya dengan satu anggukkan pelan.
            “Heh, ya sudah. Masuk mobil sana. Gugupnya lanjut di mobil saja.”
            Dengan perlahan Ahmad melangkahkan kakiknya memasuki mobil sedan mewah milik keluarganya. Ahmad duduk di kursi penumpang depan. Tangannya masih dikatupkan. Bibirnya masih berdziki mengingat Allah dalam setiap gerak bibirnya. Hatinya mengingat segala nikmat yang diberikan Allah hingga saat ini.
            Kini kedua matanya terpejam, mencoba menenagkan hatinya sambil menyusuri masa lalunya.
            “Mas.”
            “Ya?” Ahmad langsung membalikkan tubuhnya ketika mendengar panggilan dari belakang punggungnya yang seolah suara itu sudah tidak asing lagi. “Oh, mbaknya yang tadi. Ada apa mbak?”
            “Ini mas, mau ngembalikan kotak P3K.”
            “Ow.” Sambil menerima kotak P3K yang disodorkan Novi.
            “Makasih mas.” Seraya memalingkan badannya.
            “Eh iya, sama-sama Nov.”  dengan ragu Ahmad akhirnya menyebut nama yang dikiranya nama gadis cantik yang berbalut jilbab berwarna Merah tua.
            “Eh, kok tau nama saya mas?” tanya Novi seketika itu juga dengan rasa heran.
            “Anu...aa... Itu tadi- aku baca sekilas –apa itu namanya- ah absensi” Jawabnya dengan gugup, tapi beruntung dia mulai bisa segera mengendalikan dirinya untuk melanjutkan alasannya. “Waktu disodorkan ke aku tadi. Aku lihat yang akhwat yang atas itu namanya Novi siapa gitu, aku pikir mungkin itu namamu.” Lanjutnya dengan tenang dan tawa.
            “Jadi, tadi itu cuma iseng ya?” Ahmad tersapu malu mendengar ucapan Novi. “Untung bener ya mas?” Diikuti anggukan Ahmad pelan. “Eh, iya nama aku lengkapanya Novita Putri, salam kenal. Mas sendiri namanya siapa?”
            “Aku?” Dengan menunjuk ke arah dirinya sendiri. “Ee, Ahmad Nov. Ahmad Nur Kholis dari Agrobisnis, UNS solo.”
            “Oh dari UNS ya?” Novi terlihat sedikit heran tapi kagum. “Kalau aku dari UGM, sastra indonesia, semester 5 ini.”
            “Udah semester 5 ya, selisih satu tahun berarti, aku semester  tujuh ini”
            “Nov! Ayo!” Panggil temannya yang sudah tidak sabar karena melihat Novi enak sekali bercerita dengan Ahmad sampai lupa kalau akan pulang.
            “Iya Nes, bentar.” Sahut Novi. “Aku pamit dulu mas, Assalamu’alaykum”
            “Wa’alaykumussalam.” Jawab Ahmad tanpa mengedipkan matanya dari sosok bidadari yang perlahan menjauh.
            Wajahnya kini merona kemerahan, senyum tersungging di bibirnya.
            “Sudah tenang nak?” Tanya ayahnya yang sedang menyetir ketika melihat anaknya tersenyum bahagia.
            “Lumayan Yah.” Masih tertunduk dengan senyum khasnya.
            “Sebentar lagi sampai. Sudah, tenang saja ya.”
            “iya tenang aja, nanti lupa lagi gimana akadnya.” timpal Ari adik laki-lakinya.
            “haish kau ini.” Sambil melontarkan tangannya ke belakang tapi berhasil dihindari Ari karena Ahmad tertahan tali sabuk pengaman yang mengganggu jarak jangkau tangan kirinya.
            “Eit, nggak kenak hahaha.” Tawa lepas sang adik.
            “Sudah Ri, kamu itu dari tadi ganggu masmu. Jangan-jangan kamu juga mau nikah?”
            “Aku? Oh jelas Yah. Tapi nanti. Masih SMA juga, masak mau nikah. Calon aja belum ada Yah.” Jawab Ari dengan entengnya.
            “haha iya ya, masih SMA.”
            Canda tawa kini menghiasi mobil sedan itu hingga tiba di kediaman Novi. Mobil pun diparkirkan. Usai itu, rombongan mempelai pria memasuki area kediaman rumah Novi. Mereka disambut dengan hangat, sehangat dekapan ibu pada bayi mungilnya.
Perasaan ini pernah ia rasakan, tapi kebahagian ini baru pertama kali ia rasakan semenjak bertemu Novi.
***
Seminggu yang lalu, Ahmad menerima kabar tentang reuni sekolahnya. Senyum bahagia menampakkan lesung pipinya. Sudah lama mereka tidak berjumpa, batin Ahmad waktu menerima sms. 
Sekolah di mana Ahmad pernah menempuh jenjang pendidikan di sana selama tiga tahun. Sekolah yang menuangkan masa-masa remajanya. Jenjang pendidikan yang pernah mengukirkan tingkah-tingkah konyol anak tujuh belas tahun.
Pagi itu, Ahmad sudah bersiap seolah akan menemui seorang raja. Dia berdandan rapi,  dengan semerbak harum parfum dari bajunya. Sudah lama ia tak berjumpa teman seperjuangannya semenjak lulus dari sekolah.
Di UNS, teman seperjuangannya tidak ada, yang ada hanya teman satu tanah kelahiran. Jadilah Ahmad merantau sendiri ke Solo. Hanya waktu liburan Ahamd bisa pulang ke Semarang. Pulang? Mungkin lebih tepatnya mampir tidur semalam.
Ahmad termasuk mahasiswa aktif, bukan hanya organisasi dalam kampus, tapi juga di luar kampus, ditambah Ahmad mencoba untuk mandiri, yang membuatnya bekerja paruh waktu, meski kedua orang tuanya tergolong kaya raya. Meski begitu Ahma lebih senang menonjolkan sisi sederhana pada dirinya. Merasakan penderitaan mahasiswa pada tanggal tua atau yang terlambat pengiriman uangnya.
Minggu pagi. Sekitar pukul tujuh Ahmad sudah bangun, mandi sarapan berdandan hingga pukul delapan. Selepas itu, Ahmad menaiki Honda Tiger miliknya menuju ke sekolahnya. Ahmad orang yang pertama sampai, setelah panitia tentunya. Di sana Ahmad berbincang–bincang melepas kerinduan. Hampir dari seluruh jumlah siswa kelas tiga, yang memutuskan untuk bersekolah di tanah kelahirannya mungkin hanya 33%, selainnya merantau di universitas lain di ranah Jawa seperti, UI, ITB, ITS, UNEJ, UGM, UNY, UNESA, bahkan ada yang ikut orang tuanya ke Lampung dan Manado.
Tak terasa perbincangan mereka mengenang kekonyolan mereka semasa SMA yang terlihat begitu cuek akan pelajaran dan kenangan kala menjadi panitia remidi, karena saking seringnya remidi dihampir setiap ulangan harian karena nilanya yang selalu di bawah KKM, tapi itu dulu, semasa kelas satu. Serta mengingat kembali para guru-guru mereka dengan segala tingkah para guru yang mengundang gelak tawa mereka.
Entah kebetulan atau apa, Ahmad melihat Santi, teman sekelasnya, yang semasa kelas tiga membantunya untuk belajar, menjadi tempat bertanya atau disebutnya sebagai kamus berjalan. Santi memang tergolong siswi yang pandai, meski tidak pernah menduduki ranking pertama, tapi Santi lebih bisa diandalkan dari pada sang juara.
“Oi San. Apa kabar?” Panggil Ahmad dari kejauhan sembari mendekatinya.
“Ahmad ya?” Tunjuk Santi ke arah Ahmad, seolah ada yang berbeda dari dirinya. “Kamu kurusan sekarang, brewokan lagi, jadi pangling aku. Aku sehat Mad.”
“Hehe iya San, maklum anak kuliah yang sibuk”. Jawabnya santai.
“Ya ya ya, aku ngerti kok. Lanjut di mana?”
“UNS San, ambil Agrobisnis. Kamu katanya mau ke UGM ya? Gimana hasilnya?
“oh iya ya, maaf belum sempet kabar-kabar, maklum handphoneku hilang. Sekarang aku masuk prodi sastra indonesi Mad. Jadi sekarang aku satu tahun di bawahmu. Soalnya kan aku nunda setahun buat kerja dulu.”
“Sastra indonesia?” Ahmad sedikit terkejut, bukan pertama kali dia mendengar itu, ada seorang gadis nan cantik jelita pernah mengatakan hal itu. Mungkinkah ini jodohku yang telah Engkau tuliskan Ya Allah. Apakah lewat sobatku ini aku bisa mendekatinya? Batin Ahmad penuh rasa harap.
“Kenapa Mad? Ada yang aneh sama jawabanku?” Tanyanya karena melihat gelagat aneh dari Ahmad.
“Mmm, nggak. Aku Cuma mau tanya, kamu kenal Novi?”
“Novi, Novi~?”
“iya, lengkapnya Novita Putri.”
“oh, anaknya pak Rt? Kalau benar itu, berarti aku kenal, itu orangnya baru ke Indoapril.” terangnya singkat penuh penghayatan berhasil membuat Ahmad hampir kehilangan kesadaran saking kagetnya. Tak disangka akan bertemu sang pujaan hati lagi.
“Bercanda ah.”  Jawab Ahmad mencoba untuk tidak percaya begitu saja.
“Bercanda? Oke tunggu aja kalau dia sudah balik dari Indoapril.” Tantang Santi.
Tak berselang lama setelah itu, Ahmad dan Santi yang masih asik mengenang masa SMAnya, tentunya terlelepas dari membahas Novi. Tiba-tiba sesosok wanita berbusana muslimah biru tua menghampiri mereka.
“Lho? Mas Ahmad. Temennya mbak Santi ya?” Disambut anggukan dari Ahmad tanpa memalingkan pandangannya. Ahmad benar-benar sudah terhipnotis dengan kecantikan sang juwita yang bernama Novi.
“Apa ku bilang. Novi ikutkan.” Jawabnya dengan besar kepala.
Kok bisa?” Ahmad benar-benar heran. Orang Sunda, kuliah di UGM, ikut reuni di Semarang padahal bukan sekolahnya.
“Gini Mad, seminggu kemarin aku ngajak Novi main ke rumah, eh pas sampek di sini hari senin kemarin malah dapet sms, katanya ada reuni. Ya sudah, sekalian nanti mau balik ke Jogja, Novi aku ajak aja. Begitu kira-kira singkat ceritanya.”
“Ow~” Tak sempat melanjutkan pembicaraan Ahmad sudah diseret Anton menuju ruangan. “Eh eh Ton”
“Ayo, siap-siap” Sambil menarik-narik Ahmad
“aku masuk dulu ya.” Pamit Ahmad yang di tarik Anton dengan suara agak ditinggikan.
***
 “Nak Ahmad, sudah siap?” Tanya penghulu.
“Iya pak. Siap” Jawabnya dengan penuh keyakinan, mengalahkan gejolak dalam dada yang membuatnya hampir tak sanggup untuk bicara.
“Berarti bisa dimulai kan?” Tanya penghulu lagi yang dijawab dengan anggukan kepala penuh keyakian.
Akad nikah pun berlangsung, sekarang Ahmad dan Novi sudah resmi sebagai suami-istri. Mereka kini menempuh babak baru dari kehidupan. Acara resepsi berlangsung saat itu juga. Tak banyak teman Ahmad yang bisa datang. Karena sekarang bukan masa liburan.
Bulan madu mereka, rencananya akan naik ke puncak. Satu Vila sudah mereka sewa khusus tiga hari sebelum hari pernikahan. Rencana kepuncak ini sebenarnya sudah ada pasca Ahmad mengkhitbah Novi, itupun karena saudara Novi yang menyuguhkan minuman bertanya ke Ahmad, bulan madu mau ke mana. Sebelumnya Ahmad tidak berpikir sejauh itu, buat apa? Toh menghamburkan uang. Tapi kebetulan lagi, tantenya tiga hari sebelum hari pernikahan tanpa disangka sudah memesankan satu vila untuk mereka bulan madu, karena sudah dipesan, dibayar lunas lagi, Ahmad jadi enggan untuk menolaknya. Jadilah dia akan berbulan madu di puncak.
Sehari setelah acara pernikahan mereka, Ahmad dan sang istri bersiap-siap menuju puncak. Mereka rencananya berangkat pukul sepuluh, biar paling tidak ‘ashar sudah sampai di sana.
Usai berkemas, mereka langsung menuju puncak, kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Rasa cinta semakin tereasa mendalam di hati tiap insan manusia ini.
Sepoi angin pegunungan ketika jendela mobil dibuka, membuat tenang hati, orang beribadah pun niscaya khusyuk dalam kondisi sesejuk ini.
Sepoi angin ini seolah memberi kesejukan pada cinta kedua mempelai baru ini. Cinta mereka bagaikan cahaya yang menyinari hutan yang gelap yang belum pernah dijamah manusia sediktpun.
Dan cinta mereka yang bila didasari keikhlasan, yang semata-mata karena Rabb mereka, niscaya cinta itu yang akan membawa mereka kepada Rabb mereka, karena cinta mereka seolah menjadi kendaraan yang mengantarkan mereka menuju Rabb mereka.
Wajah kedua pasangan ini begitu cerah, benar-benar penuh arti senyuman meraka di jalan berkelok pegunungan. Karena cinta mereka adalah kehidupan, sehingga mereka tidak seperti orang yang mati. Orang Mati yang tidak bisa merasakan apapun bahkan orang mati tidak bisa tersenyum bahagia seperti itu. Semua kebahagiaan tergambar pada kemesraan mereka selama perjalanan yang berbalut senyuman indah.
Tapi siapa yang menyangka, senyuman mereka berubah menjadi mimik wajah ketakutan. Karena turunan yang curam menghadang mereka, rem pun entah kenapa tak mau berfungsi dengan normal. Mobil mereka menuruni bukit dengan kencangnya. Hingga terdengar suara benda yang saling berbenturan. Teriakan terdengar begitu jelas. Ia terus saja berteriak ketakutan pasca suara benturan tadi. Berteriak seperti sedang menaiki RollerCoster.
“Oi mas, kenapa? Bangun mas, udahan mimpinya.” ujar Ari sambil melempar bantal ke kepala Ahmad yang jatuh dari tempat tidurnya.
Ahmad terlhat ngos-ngosan, seolah itu semua nyata, seperti hal nya Final Destination yang pernah di tontonnya di TV. Ahmad beristighfar sambil memegang dadanya yang masih naik turun dengan cepat.
“Ri, Novi Ri?” Tanya Ahmad dengan nada yang masih belum teratur.
“Ah, Novi siapa?”
“Novi istriku!” Tegas Ahmad.
“Mas! Sudahan mimpinya, mas itu belum nikah, lamaran saja belum.” Ujar Ari setelah melempar bantal untuk kedua kalinya ke Ahmad dilanjutkan tidur memluk erat gulingnya. “Mas ini terlalu sering baca buku nikah, jadinya kebawa mimpi kaya gitu” Lanjutnya seperti orang yang melantur.
“Oh, tapi ini di Depok kan?”
“Wah parah lho. Baru juga kita sampai sini semalem. Lho dah lupa.” Jawab Ari yang masih tertidur  sambil memeluk erat gulingnya dengan nada agak tinggi.
Ahmad pun bergegas keluar dari kamrnya. Ia mandi secepat mungkin, lalu mengambil kunci mobil dan keluar entah mau ke mana.
Mobil sedan yang dikendarai Ahmad berhenti di suatu kampung. Ahmad turun dari mobilnya, matanya menyapu rata rumah-rumah di sekitarnya, seperti sedang mencari sesuatu atau memang Ahmad sedang mencari sesuatu.
“Maaf bang, nyari siapa?” Tanya seorang gadis bersuara lembut mengagetkan dirinya.
“No...No...Novi!” Suara Ahmad terlihat terbata-bata ketika melihat sosok Novi yang ada dalam mimpinya semalam berdiri di dekatnya.
“Saya?” Gadis itu terlihat heran.
Masyaallah, ternyata mimpiku benar.” Pekik Ahmad pelan memuji Allah dengan segala ketetapannya untuk setiap makhluk ciptaan-Nya.
“Mimpi apa?” Tanyanya  dengan penuh rasa heran.
“semalam saya mimpi bertemu kamu, lalu kita menikah.” Jelas Ahmad dengan mata berbinar-binar penuh kebahagiaan.
“Aduh! Abang salah orang kali. Lagi pula, hal kaya begitu kan cuma ada di cerita-cerita fiksi.” Sanggahnya menahan tawa. “Abang ini ada-ada saja. Sudah, saya masuk dulu.” Dengan senyum lembut sambil beranjak pergi masuk rumah, meninggakan Ahmad yang melongoh di luar rumahnya sendirian.

« END »